Sabtu, 19 Juni 2010

jiwaqu meninggal

Aku termenung memandang orang yang lalu lalang di depanku. Awalnya hanya seorang, lalu beberapa orang, dan sekarang berbondong-bondong. Mereka nampak tergesa berjalan menjelma barisan yang panjang. Pakaian mereka hampir serupa, warna hitam. Pakaian berkabung, batinku. Hatiku berdesir mengingat hal itu.

Karena rasa penasaran, aku menghampiri salah seorang dari mereka. Seorang bapak dengan pakaian yang sedikit berbeda, kaos oblong dan celana pendek sebatas lutut, topi di kepala dan sebuah sekop di bahunya.

"Maaf, Pak." Lelaki itu hanya melirik sebentar dan terus melangkah. "Hendak ke mana orang-orang ini?" tanyaku. Lagi-lagi lelaki itu hanya melirik.

"Melayat," jawabnya pendek sambil terus melangkah. Aku diam. Melayat, gumamku dalam hati. Kembali hatiku berdesir mengeja kata itu.

"Kalau boleh tahu, siapa yang meninggal?" tanyaku lagi. Lelaki itu menghentikan langkahnya, berdiri dengan tatapan aneh. Ia terus menatapku lekat-lekat. Aku diam.

"Kamu. Kamu yang meninggal," ucapnya pendek. Kemudian kembali melangkah.

"Aku?" Aku terkesiap mendengar jawaban lelaki itu. "Aku yang meninggal?" ulangku. Sementara lelaki itu hanya diam dan terus berjalan.

"Bapak mau menggali kubur?" Sebuah pertanyaan bodoh yang aku ajukan. Aku juga melihat beberapa lelaki yang membawa cangkul dan sekop di bahu mereka.

"Ya."

Aku berhenti dan membiarkan lelaki itu menghilang di antara kerumunan orang-orang yang berjalan dalam satu arah.

Aku yang meninggal, batinku. Hatiku benar-benar bergetar membayangkannya. Apa maksud lelaki itu?

"Maaf, siapa yang meninggal?" kembali aku bertanya kepada seorang wanita dengan pakaian hitam-hitam yang kebetulan lewat di dekatku. Wanita itu berhenti sejenak, menatapku lekat-lekat, lalu menggeleng pelan.

"Kamu. Kamu yang meninggal," jawabnya pendek, kemudian kembali berjalan. Dan kembali aku terdiam.

Aku berjalan mengikuti kerumunan orang-orang itu. Sepertinya mereka sangat tergesa-gesa. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya aku sampai di sebuah rumah. Satu-satunya rumah di bagian paling ujung jalan ini. Rumah mungil yang terpencil. Selebihnya hanyalah sungai yang membentang memisahkan desa tetangga. Kerumunan orang-orang nampak begitu ramai. Di sebelah timur, barat, depan dan belakang rumah tersebut. Itu rumahku, batinku. Kebingungan melanda benakku.

Bergegas aku melangkah menembus kerumunan tersebut. Lalu aku segera masuk ke dalam rumah. Di tengah ruangan ada peti mati yang terbuka tutupnya. Beberapa lelaki dan perempuan bersimpuh di sekelilingnya. Ayah dan ibu terisak di salah satu ujung peti mati tersebut. Sebagian dari orang-orang itu menoleh ke arahku. Tatapan mereka benar-benar asing. Perlahan aku mendekati salah seorang dari mereka. Ia pemuka adat di sini.

"Maaf, siapa yang meninggal?" sedikit berbisik aku bertanya. Lelaki pemuka adat itu menoleh. Tatapannya sama dengan tatapan orang-orang yang lain.

"Kamu yang meninggal," jawabnya sambil terus menatap wajahku.

"Tapi aku masih hidup. Aku masih bernafas. Aku juga bisa bicara. Orang-orang juga masih bisa melihatku," sergahku. Lelaki itu diam.

"Bahkan, Bapak bisa memegang tubuhku," lanjutku.

Aku menarik salah satu tangan lelaki itu dan mendekatkannya ke tubuhku. Namun dengan cepat, lelaki itu menarik kembali tangannya.

"Aku masih bisa menyentuh orang lain. Berarti aku belum mati," ucapku.

"Jiwa kamu. Jiwa kamu yang telah meninggal," lelaki pemuka adat itu berkata lirih.

"Jiwaku?" Tatapanku beralih ke dalam peti mati yang ada di hadapanku. Ada buntalan kain kafan yang diikat sepanjang peti mati itu. Perlahan dan dengan hati-hati aku menyentuhnya. Kosong.

"Jiwa - seperti juga kematian - ia tidak bisa diraba atau dilihat." Lelaki pemuka adat itu seakan mengerti kebingunganku. Kemudian kami diam.

Tak lama kemudian, proses pemakaman dimulai. Beberapa orang lelaki memindahkan peti mati yang telah ditutup ke dalam keranda. Kemudian beberapa lelaki yang lain berdiri pada tiap ujung keranda tersebut, lalu mengangkatnya dan membawa keluar rumah. Kerumunan segera tersibak saat rombongan pembawa keranda itu lewat. Dengan langkah panjang-panjang, lelaki-lelaki itu membawa keranda ke arah makam. Di belakangnya mengekor para pelayat, termasuk aku.

Pemakaman berlangsung dengan cepat. Tak lama kemudian, para pelayat bubar. Aku berjalan pelan mendekati makam yang masih baru itu. Aku bersimpuh di samping gundukan tanah merah. Pada batu nisannya tertulis namaku, juga tarikh lahir dan tanggal kematianku.

Aku terdiam. Sekuntum bunga kamboja luruh dari dahannya. Aku telah meninggal. Jiwaku telah meninggal. Kata-kata itu terus terngiang dalam benakku.



*copas ^_^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar